Konsumsi Rumah Tangga, sektor yang biasa menjadi penyangga ekonomi Indonesia, tetap menunjukkan denyut kehidupan. Di tengah-tengah kondisi ekonomi yang, bisa dibilang, penuh kehati-hatian. Lihat saja, Triwulan II-2025, Konsumsi rumah tangga, tumbuh 4,97% yoy — lebih tinggi sedikit dibandingkan Triwulan II-2024 ( 4,93% yoy). Namun, jangan keburu gembira ria. Di balik angka itu, mari kita selidiki.
Dikutip dari Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (KSK BI) No.45, ternyata, pertumbuhan konsumsi rumah tangga ditopang oleh segmen rumah tangga kelas atas dengan kategori pengeluaran tersier, seperti Transportasi dan Komunikasi. Selain itu, kategori primer berupa Makanan dan Minuman selain Restoran, juga turut berkontribusi positif. Kategori tersier dan primer berjalan beriringan, seolah memberi sinyal bahwa sebagian masyarakat masih punya ruang untuk bernapas.
Nah, bagaimana dengan kelas menengah ke bawah? Indeks penghasilan konsumen, pembelian barang tahan lama, dan ketersediaan lapangan kerja menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, pada Juni 2025, indeks lapangan kerja bahkan berada di bawah ambang optimisme. Di bawah 100. Tambah lagi: pangsa tenaga kerja informal meningkat menjadi 59,4%. Artinya, lebih dari separuh pekerja kita berkubang di sektor, yang identik dengan, tanpa jaminan sosial dan dengan upah yang lebih rendah. Artinya, ada sebuah potret ketimpangan.
Kredit Konsumsi Rumah Tangga
Dalam KSK BI No.45, Kredit konsumsi rumah tangga tumbuh 8,95% yoy di Triwulan II 2025. Rumah tangga kelas atas jadi motor penggerak, menyumbang 3,91%. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Multiguna (KMG) masing-masing tumbuh 3,33% yoy dan 3,30% yoy. Tapi ada tren yang menarik: perlambatan.
Perlambatan tersebut seirama dengan sektor Rumah tangga yang mulai menahan diri. Sebabnya: daya beli menurun. Pengeluaran besar, seperti pembelian properti, ditunda. Prioritasnya: Pengeluaran primer. Seperti halnya kredit korporasi, angka ini merupakan refleksi dari kehati-hatian. Bahkan rumah tangga kelas atas pun mulai menahan diri, berpikir ulang sebelum mengeluarkan uang. Di sisi lain, rumah tangga menengah bawah makin terasa tekanannya. Golongan ini makin menahan konsumsi dan memengaruhi dinamika pertumbuhan Kredit Konsumsi secara umum.
Upaya Pemerintah
Pemerintah tentu saja tak tinggal diam. Untuk mendongkrak kredit konsumsi, berbagai jurus dikeluarkan, diantaranya: Program Tiga Juta Rumah, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100%, dan pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang disebut terakhir adalah insiatif untuk meringankan beban kepemilikan rumah. Termasuk Suku bunga KPR yang kompetitif dan pelonggaran rasio Loan-to-Value (LTV). Hasilnya? KPR tetap tumbuh positif sebesar 7,66% yoy di Juni 2025. Semoga ke depannya, kredit konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi profit yang sehat bagi perbankan. Amiin.
*Data diolah dari KSK BI No.45